Kamis, 24 Juni 2010

Perkutut budaya bangsa dan pendatang devisa bangsa (part 1)

Burung perkutut Geopelia striata merupakan salah satu dari 41 marga suku merpati-merpatian. Penyebarannya sentris, yakni hanya di Australia dan Asia Tenggara. Termasuk dalam famili Columbidae yaitu suku yang tidak berpoligami/poliandri dalam berpasangan. Dalam satu musim pembiakan, mereka cuma bertelur 2 butir. Ciri umumnya, burung betina jarang berbunyi dan tidak semerdu yang jantan. Suku ini mempunyai keistimewaan, di antaranya mampu menghisap air sehingga tidak perlu mengangkat kepalanya saat minum.

Perkutut yang berkembang sekarang berasal mula dari burung perkutut Tuban yang merupakan perkutut lokal, asli berasal dari Indonesia. Ia sangat tersohor di kalangan penggemar perkutut di jaman dulu karena bunyi suaranya yang laras didengar dan ketahanan fisiknya yang kuat. Sebagai burung piaraan, umumnya ia berhasil dari hasil tangkapan di hutan.

Dihubungkan dengan mitos banyak mitos yang beredar tentang burung perkutut ini, tetapi yang menarik bagi penulis yaitu ketika nabi Dawud tergopoh - gopoh mencari suara merdu saat mendengar lagu suaranya indah, sehabis selesai sembahyang subuh. Sayang sekali, ia tak menemukan perkutut alam yang suaranya ia gandrungi itu. Malahan mendapatkan seorang puteri cantik sedang mandi dan asyik menyanyikan sebuah lagu disebuah sungai yang berair jernih. Pengalaman penulis adalah ketika dalam sebuah mimpi di beri dua ekor burung perkutut yaitu satu perkutut lokal dan satunya lagi perkutut Bangkok yang kemudian saya masukkan sangkar. Padahal waktu itu penulis kurang menyukai hobi ini tetapi lambat laun mulai tahu seluk beluknya serta menyukainnya.

Kebiasaan menikmati bunyi suaranya anggungan burung perkutut yang indah ini dimulai sejak zaman Majapahit dan memang burung yang satu ini pada waktu itu biasanya hanya dipelihara oleh kalangan ningrat kerajaan.

Alkisah ketika si Joko Mangu perkutut milik Prabu Brawijaya V ( raja Majapahit terakhir ) lepas dari sangkar, burung itu diketemukan kembali oleh sang raja dalam perjalanannya di wilayah Yogyakarta. Tepatnya, ditemukan di daerah kretek, dekat Imogiri, Kabupaten Bantul. Berangkat dari sinilah maka, raja-raja Mataram yang merasa dirinya keturunan Prabu Brawijaya penguasa Majapahit melestarikan dan mentradisikan kekukututan (memelihara perkutut) dalam kehidupan Keraton Ngayogjakarta. Kekukututan dianggap memiliki nilai-nilai budaya adiluhung. Perkutu semakin dikembangkan pada saat keraton Ngayogjakarta Hadiningrat dibawah Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1877-1921.

Penyebaran perkutut asal Jawa meluas ke melayu hingga khususnya Thailand selatan. Di Thailand sebenarnya tidak ada perkutut liar ( asli ) di hutannya. Perkutut yang diternak dan dipelihara orang di sana, dulunya berasal dari Jawa juga. Di Thailand burung ini justru disebut nukhao chewah yang artinya burung Jawa.

Menurut Purbasasmita dari Yogya, perkutut yang terdapat di Thailand pertama kalinya dibawa oleh para romusha dari Jawa. Mereka dikirim oleh pemerintahan Jepang ke sana untuk kerja paksa, dan perkutut dibawa olehnya untuk dipelihara sebagai sarana hiburan.
Perkutut yang kita kenal sekarang berbeda dengan perkutut dulu yaitu suara suara yang kecil ringan dan datar serta tempo iramanya cepat bentuk burungnya kecil, langsing, tak lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa. Sekitar tahun 1950, penggemar perkutut di Thailand mulai mencoba menternakkannya. mereka tidak segan - segan membeli perkutut yang baik mutunya dari Jawa dengan harga tinggi. Usahanya itu ternyata tidak sia - sia. Daerah peternakan perkutut yang terkenal adalah Channa, sekitar 400 km sebelah selatan kota Bangkok atau Thailand Selatan yang kebanyakan mayoritas muslim melayu. Perkutut mengalami perubahan genetis yang besar dari teori Mendel yang sangat luar biasa akibat silangan berubah menjadi badan lebih besar, suara besar dan menghentak rata serta tempo irama senggang-senggang atau lebih indah sehingga sering di sebut perkutut Bangkok.

Berbicara mengenai bisnis, perkutut merupakan bisnis hobby yang paling langgeng dibanding dengan bisnis hobby lain. Meski ada turunnya seperti ramai isu flu burung tahun 2003, rame bisnis ikan lou han dan tanaman gelombang cinta tetapi perkutut tetap bertahan bahkan trennya cenderung naik pada mulai tahun 2007. Anehnya waktu krismon melanda Indonesia tahun 1997, bisnis hobby perkutut tidak terkena imbasnya malah cenderung naik dan transaksi yang terjadi hingga ratusan juta. Mungkin pada waktu itu banyak orang stres dan beralih ke hiburan dan hobby. Di daerah Thailand selatan kini 2010 telah banyak orang thailand yang mendirikan kandang-kandang ternakan burung perkutut.

Penulis ikut menekuni dan melestarikan burung perkutut yang merupakan warisan budaya dengan cara berternak untuk menghasilkan suara serta genetik perkutut yang semakin baik yang tidak kalah dengan perkutut dari asal ternakkan Thailand. Tetapi untunglah perkutut tidak sampai di klaim bangsa lain sebagai produk budaya bangsa lain karena perkutut memang burung ajaib milik bangsa Indonesia. Bangsa Thailand juga tidak suka mengklaim budaya bangsa lain tetapi malah mengembangkannya terutama bidang tanaman dan binatang. (Bersambung)

Tidak ada komentar: